BERKACALAH PADA RADEN MAS SAID
SUATU hari dalam suatu acara di Jakarta, saya ditanya: “Mbak Boni, bagaimana caranya agar bisa menjadi Dai yang berhasil dan menarik di depan umat?” Yang bertanya itu adalah teman lama saya yang sekarang memang menekuni pekerjaan mulia sebagai Dai. Sebagai orang yang lama bergelut di bidang dunia kepribadian, tentu saja teman saya tadi, tidak bertanya soal aspek agama, tetapi bertanya “cara menarik” dari kacamata kepribadian.
Dia bertanya seperti itu, juga mengandung maksud, agar saya memberi saran-sarannya dalam bidang kepribadian. Kebetulan pekerjaan yang saya geluti adalah bidang pendidikan kepribadian. Saat itu, memang saya tidak langsung menjawabnya. Saya minta waktu untuk memberikan jawaban yang dibutuhkannya. Dan setelah merenung lama, bahkan berhari-hari, berbulan-bulan, inilah jawaban saya: Sebelum menundukkan orang lain, tundukanlah dirimu sendiri. Resep ini bukan dari saya, tetapi dari salah satu Dai kondang pertama, yaitu Raden Mas Said.
Syarat utama seorang Dai, adalah bisa menundukan dirinya sendiri dulu, sebelum “menundukan” orang lain, yaitu umat yang mau diberi ceramah keagamaan. Pengendalian diri, dalam pekerjaan dakwah sangatlah penting. Jangan harap bisa berhasil, sebelum masalah diri sendiri jadi tuntas.
Kita tengok perjalanan hidup dari Raden Mas Said yang sangat luar biasa. Pada waktu itu, Said muda adalah seorang berandalan. Tak hanya itu, dia juga adalah seorang kriminal murni. Sebagai perampok, tukang palak, tukang todong, dan atribut-atribut lain dari dunia hitam melekat di dirinya. Sampai takdir menentukan lain dalam perjalanan hidupnya.
Suatu hari, dia and his gang-nya, mencegat seorang suami istri tua yang melintas di hutan lebat. Kebetulan tongkat (teken, Bhs Jw) lelaki tua yang dicegatnya itu, ujungnya dilapisi emas. Dengan kasar, kedua suami istri itu ditodongnya dan diminta menyerahkan tongkat, serta semua bekal yang dibawanya. Namun, lelaki tua itu tidak sedikitpun gemetar atau ketakutan, bahkan balik bertanya.
“Hai anak muda, kalau kamu ingin emas, yang melekat di ujung tongkatku ini terlalu kecil. Kalau kamu ingin emas yang berlimpah, ambilah sesukamu,” sambil berkata begitu, si lelaki tua itu mengacungkan tongkatnya pada buah enau (kolang-kaling, Bhs.Jw) yang tumbuh lebat yang ada di dekat situ. Seketika itu, buah enau setandan besar pun jadi emas berkilauan. Raden Mas Said jadi terkejut bukan main. Sadarlah dia, yang dibutuhkannya bukanlah emas, tetapi ilmu yang bisa membuat emas.
Dia pun secara spontan langsung bersujud pada lelaki tua itu. Menangis dan memohon dengan sangat agar bisa diangkat jadi muridnya. Lelaki tua itu tersenyum dan mangajukan syarat, mau menjadikannya murid, tapi harus mau menunggu kedatangan lelaki tua itu, yang langsung menancapkan tongkatnya ke tanah. “Tunggulah tongkat ini, sampai aku datang,” tuturnya.
Bukan perkara mudah menunggui tongkat. Diperlukan waktu bertahun-tahun, sampai lelaki tua itu datang menjemput. Namun, Raden Mas Said tidak bergeming. Meski puluhan tahun pun dia tetap akan menunggui lelaki itu datang. Tidak beranjak dari tempat tongkat ditancapkan. Tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur, karena ingin mendapatkan ilmu dari kebenaran yang sejati. Akhirnya lelaki tua tua itu datang menjemputnya dan mengajaknya pergi dan menjadikannya muridnya.
Bapak-bapak pasti sudah tahu akan kisah ini. Lelaki tua itu ternyata adalah Sunan Bonang, dan Raden Mas Said, kelak menjadi salah satu Dai kondang di tanah Jawa, dialah Ki Sunan Kalijaga. Ningrat, karena anak Adipati meskipun mursal, muda dan cerdas. Namun pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini adalah: Mampu menundukkan diri sendiri. Said muda yang penuh gejolak, mampu menundukkan dirinya sendiri dulu, sebelum menjadi Dai. Dari bajingan tengik, menjadi Muslim yang soleh dan taat.
Menunggui tongkat bertahun-tahun adalah lambang pergulatan menundukkan diri sendiri yang hebat dan teramat sangat. Diperlukan disiplin diri yang tinggi dan penguasaan diri yang total. Tidak main-main. Bahkan terus terang, kalau merenungkan kisah ini, diam-diam saya menangis. Begitu berat menundukkan diri sendiri. Jangan harap bisa menundukkan orang lain, kalau menundukkan diri sendiri saja tidak mampu.
Saya melihat pekerjaan sebagai Dai adalah pekerjaan yang melibatkan berbagai aspek. Disamping dituntut penguasaan aspek agama yang mumpuni, seorang Dai juga dituntut berlaku sebagai orator, humoris, penceramah, dan sekaligus guru. Gabungan yang kompleks yang masuk dalam pribadi seorang Dai itulah yang harus dikuasai. Maka dari itu, berkacalah pada sepak terjang dan pribadi Raden Mas Said.
Yang penting, dalam melakukan apapun, harus punya motivasi yang kuat. Tanpa adanya motivasi, ibarat mobil tanpa bensin. Tidak dapat bergerak ke mana-mana. Seperti contoh kisah Raden Mas Said tadi. Bermula dia sebagai seorang begal atau perampok, motivasi utamanya adalah menjarah emas, setelah melihat ada lelaki tua memakai tongkat bergagang emas. Tetapi ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri, lebih utama bisa menciptakan emas, katimbang memiliki emas itu sendiri, motivasinya terbangun.
Kemudian, motivasi itu menjadi menguat, didorong tekadnya yang kuat dan semangat berkobar-kobar untuk bisa memiliki ilmu kebenaran sejati, yang lebih penting dan lebih bermakna, dari sekedar memiliki harta benda. Motivasi kuat inilah yang akhirnya memenangkan Raden Mas Said dalam pertarungannya melawan diri sendiri. Hal tersulit dalam hidup adalah mengalahkan diri sendiri. Hal itu hanya kesampaian, bila punya motivasi yang bulat dan kuat. Milikilah motivasi, maka akan tercapailah yang dikehendaki.
Raden Mas Said atau kemudian populer disebut sebagai Sunan Kalijaga, mempunyai karakter dan pembawaan yang khas dan khusus. Bahkan kreatifitasnya melampui pemikiran orang-orang yang cerdas dizamannya. Ketika orang-orang Jawa yang jadi sasaran ceramahnya, adalah orang yang gemar wayang dan ilmu kebatinan, maka dia menciptakan pertunjukan wayang kulit yang enak ditonton dan mengandung filsafat tinggi.
Epos Ramayana dan Mahabarata yang aslinya dari India, dimodifikasi dengan cerdas menjadi wayang kulit dengan beragam kisahnya, yang seakan-akan lahir di Jawa lengkap dengan petilasan-petilasannya. Bahkan banyak orang Jawa yang menganggap, wayang benar-benar ada dan nyata. Misalnya makam Sang Prabu Yudistira, anehnya ada dalam kompleks Masjid Agung Demak.
Tontonan wayang kulit ini, sangat menarik karena juga diciptakan tokoh-tokoh Punakawan seperti Semar dan anak-anaknya, yang di versi aslinya, India, jelas tidak ada, tetapi memang lucu dan menggemaskan. Apalagi dibumbui dengan iringan musik gamelan, jadilah kesenian yang adi luhung dan bernilai tinggi, yang kemudian oleh Sunan Kalijaga dijadikan sarana dakwah. Sampai sekarang, rakyat di akar rumput sampai kalangan bangsawan di keraton, sangat hafal dengan kisah-kisah berbagai lakon dalam wayang ini.
Karena masyarakat Jawa sudah mendarah daging dengan kisah wayang, dalam berdakwah pun, Sang Kalijaga menggunakan idiom-idiom wayang. Konon, begitu dia menyampaikan ceramahnya, di suatu hari yang terik, Sunan yang cerdas ini berjalan-jalan di tengah hutan jati. Mendadak perhatiannya tertuju pada sebatang pohon jati raksasa yang mengering. Dia heran, kenapa pohon itu jadi mati.
Dia pun memerintahkan orang untuk menebangnya dan membelah pohon itu. Ternyata di dalamnya, ada Prabu Yudistira yang sedang bertapa. Melihat hal itu, Sunan Kalijaga pun marah. “Kenapa kamu sebagai Raja Amarta yang sakti kok masih bertapa di dalam pohon jati dan menyebabkan pohon itu mati?” tanyanya.
“Karena aku ingin mencari ilmu yang sejati.”
“Ilmu yang telah kamu kuasai banyak dan bermacam-macam, kenapa masih kurang juga.”
“Iya, karena puncak dari semua ilmu itu adalah ilmu sejati, yang disebut jimat Kalimasada. Kalau sudah punya ilmu itu, barulah aku mau tutup usia dengan tenang. Rasanya hati ini plong, dan rela meninggalkan dunia ini, kalau sudah menguasai ilmu itu,” tutur Sang Prabu Yudistira panjang lebar.
“Aku bisa memberikan ilmu itu, bersiap-siaplah untuk menerimanya,” kata Sang Sunan.
Pendek kata, yang dimaksudkan sebagai ilmu sejati, puncak dari segala ilmu yaitu Jimat Kalimasada, menurut Sunan Kalijaga adalah dua Kalimat Syahadat yaitu: Asyhaduallah illah haillallah, Asyhaduannah Muhammaddarrosullulah.
Setelah diberikan bacaan seperti itu, lalu ditirukan oleh Sang Prabu Yudistiro pun tutup usia dengan tenang. Jenasahnya dimakamkan di salah satu halaman Masjid Demak dan petilasannya ada sampai sekarang. Kisah itu mengakar kuat dalam masyarakat Jawa, sampai sekarang. Kisah wayang ini, kemudian menjadi ciri khas dakwah Sunan Kalijaga, dan menjadi trade mark dirinya. Demikian sekelumit perjalanan Raden Mas Said sampai menjadi Dai kondang, yang mungkin bisa kita teladani. Sampai jumpa di lain kisah. (Bonita D Sampurno SH/ang)
SUATU hari dalam suatu acara di Jakarta, saya ditanya: “Mbak Boni, bagaimana caranya agar bisa menjadi Dai yang berhasil dan menarik di depan umat?” Yang bertanya itu adalah teman lama saya yang sekarang memang menekuni pekerjaan mulia sebagai Dai. Sebagai orang yang lama bergelut di bidang dunia kepribadian, tentu saja teman saya tadi, tidak bertanya soal aspek agama, tetapi bertanya “cara menarik” dari kacamata kepribadian.
Dia bertanya seperti itu, juga mengandung maksud, agar saya memberi saran-sarannya dalam bidang kepribadian. Kebetulan pekerjaan yang saya geluti adalah bidang pendidikan kepribadian. Saat itu, memang saya tidak langsung menjawabnya. Saya minta waktu untuk memberikan jawaban yang dibutuhkannya. Dan setelah merenung lama, bahkan berhari-hari, berbulan-bulan, inilah jawaban saya: Sebelum menundukkan orang lain, tundukanlah dirimu sendiri. Resep ini bukan dari saya, tetapi dari salah satu Dai kondang pertama, yaitu Raden Mas Said.
Syarat utama seorang Dai, adalah bisa menundukan dirinya sendiri dulu, sebelum “menundukan” orang lain, yaitu umat yang mau diberi ceramah keagamaan. Pengendalian diri, dalam pekerjaan dakwah sangatlah penting. Jangan harap bisa berhasil, sebelum masalah diri sendiri jadi tuntas.
Kita tengok perjalanan hidup dari Raden Mas Said yang sangat luar biasa. Pada waktu itu, Said muda adalah seorang berandalan. Tak hanya itu, dia juga adalah seorang kriminal murni. Sebagai perampok, tukang palak, tukang todong, dan atribut-atribut lain dari dunia hitam melekat di dirinya. Sampai takdir menentukan lain dalam perjalanan hidupnya.
Suatu hari, dia and his gang-nya, mencegat seorang suami istri tua yang melintas di hutan lebat. Kebetulan tongkat (teken, Bhs Jw) lelaki tua yang dicegatnya itu, ujungnya dilapisi emas. Dengan kasar, kedua suami istri itu ditodongnya dan diminta menyerahkan tongkat, serta semua bekal yang dibawanya. Namun, lelaki tua itu tidak sedikitpun gemetar atau ketakutan, bahkan balik bertanya.
“Hai anak muda, kalau kamu ingin emas, yang melekat di ujung tongkatku ini terlalu kecil. Kalau kamu ingin emas yang berlimpah, ambilah sesukamu,” sambil berkata begitu, si lelaki tua itu mengacungkan tongkatnya pada buah enau (kolang-kaling, Bhs.Jw) yang tumbuh lebat yang ada di dekat situ. Seketika itu, buah enau setandan besar pun jadi emas berkilauan. Raden Mas Said jadi terkejut bukan main. Sadarlah dia, yang dibutuhkannya bukanlah emas, tetapi ilmu yang bisa membuat emas.
Dia pun secara spontan langsung bersujud pada lelaki tua itu. Menangis dan memohon dengan sangat agar bisa diangkat jadi muridnya. Lelaki tua itu tersenyum dan mangajukan syarat, mau menjadikannya murid, tapi harus mau menunggu kedatangan lelaki tua itu, yang langsung menancapkan tongkatnya ke tanah. “Tunggulah tongkat ini, sampai aku datang,” tuturnya.
Bukan perkara mudah menunggui tongkat. Diperlukan waktu bertahun-tahun, sampai lelaki tua itu datang menjemput. Namun, Raden Mas Said tidak bergeming. Meski puluhan tahun pun dia tetap akan menunggui lelaki itu datang. Tidak beranjak dari tempat tongkat ditancapkan. Tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur, karena ingin mendapatkan ilmu dari kebenaran yang sejati. Akhirnya lelaki tua tua itu datang menjemputnya dan mengajaknya pergi dan menjadikannya muridnya.
Bapak-bapak pasti sudah tahu akan kisah ini. Lelaki tua itu ternyata adalah Sunan Bonang, dan Raden Mas Said, kelak menjadi salah satu Dai kondang di tanah Jawa, dialah Ki Sunan Kalijaga. Ningrat, karena anak Adipati meskipun mursal, muda dan cerdas. Namun pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini adalah: Mampu menundukkan diri sendiri. Said muda yang penuh gejolak, mampu menundukkan dirinya sendiri dulu, sebelum menjadi Dai. Dari bajingan tengik, menjadi Muslim yang soleh dan taat.
Menunggui tongkat bertahun-tahun adalah lambang pergulatan menundukkan diri sendiri yang hebat dan teramat sangat. Diperlukan disiplin diri yang tinggi dan penguasaan diri yang total. Tidak main-main. Bahkan terus terang, kalau merenungkan kisah ini, diam-diam saya menangis. Begitu berat menundukkan diri sendiri. Jangan harap bisa menundukkan orang lain, kalau menundukkan diri sendiri saja tidak mampu.
Saya melihat pekerjaan sebagai Dai adalah pekerjaan yang melibatkan berbagai aspek. Disamping dituntut penguasaan aspek agama yang mumpuni, seorang Dai juga dituntut berlaku sebagai orator, humoris, penceramah, dan sekaligus guru. Gabungan yang kompleks yang masuk dalam pribadi seorang Dai itulah yang harus dikuasai. Maka dari itu, berkacalah pada sepak terjang dan pribadi Raden Mas Said.
Yang penting, dalam melakukan apapun, harus punya motivasi yang kuat. Tanpa adanya motivasi, ibarat mobil tanpa bensin. Tidak dapat bergerak ke mana-mana. Seperti contoh kisah Raden Mas Said tadi. Bermula dia sebagai seorang begal atau perampok, motivasi utamanya adalah menjarah emas, setelah melihat ada lelaki tua memakai tongkat bergagang emas. Tetapi ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri, lebih utama bisa menciptakan emas, katimbang memiliki emas itu sendiri, motivasinya terbangun.
Kemudian, motivasi itu menjadi menguat, didorong tekadnya yang kuat dan semangat berkobar-kobar untuk bisa memiliki ilmu kebenaran sejati, yang lebih penting dan lebih bermakna, dari sekedar memiliki harta benda. Motivasi kuat inilah yang akhirnya memenangkan Raden Mas Said dalam pertarungannya melawan diri sendiri. Hal tersulit dalam hidup adalah mengalahkan diri sendiri. Hal itu hanya kesampaian, bila punya motivasi yang bulat dan kuat. Milikilah motivasi, maka akan tercapailah yang dikehendaki.
Raden Mas Said atau kemudian populer disebut sebagai Sunan Kalijaga, mempunyai karakter dan pembawaan yang khas dan khusus. Bahkan kreatifitasnya melampui pemikiran orang-orang yang cerdas dizamannya. Ketika orang-orang Jawa yang jadi sasaran ceramahnya, adalah orang yang gemar wayang dan ilmu kebatinan, maka dia menciptakan pertunjukan wayang kulit yang enak ditonton dan mengandung filsafat tinggi.
Epos Ramayana dan Mahabarata yang aslinya dari India, dimodifikasi dengan cerdas menjadi wayang kulit dengan beragam kisahnya, yang seakan-akan lahir di Jawa lengkap dengan petilasan-petilasannya. Bahkan banyak orang Jawa yang menganggap, wayang benar-benar ada dan nyata. Misalnya makam Sang Prabu Yudistira, anehnya ada dalam kompleks Masjid Agung Demak.
Tontonan wayang kulit ini, sangat menarik karena juga diciptakan tokoh-tokoh Punakawan seperti Semar dan anak-anaknya, yang di versi aslinya, India, jelas tidak ada, tetapi memang lucu dan menggemaskan. Apalagi dibumbui dengan iringan musik gamelan, jadilah kesenian yang adi luhung dan bernilai tinggi, yang kemudian oleh Sunan Kalijaga dijadikan sarana dakwah. Sampai sekarang, rakyat di akar rumput sampai kalangan bangsawan di keraton, sangat hafal dengan kisah-kisah berbagai lakon dalam wayang ini.
Karena masyarakat Jawa sudah mendarah daging dengan kisah wayang, dalam berdakwah pun, Sang Kalijaga menggunakan idiom-idiom wayang. Konon, begitu dia menyampaikan ceramahnya, di suatu hari yang terik, Sunan yang cerdas ini berjalan-jalan di tengah hutan jati. Mendadak perhatiannya tertuju pada sebatang pohon jati raksasa yang mengering. Dia heran, kenapa pohon itu jadi mati.
Dia pun memerintahkan orang untuk menebangnya dan membelah pohon itu. Ternyata di dalamnya, ada Prabu Yudistira yang sedang bertapa. Melihat hal itu, Sunan Kalijaga pun marah. “Kenapa kamu sebagai Raja Amarta yang sakti kok masih bertapa di dalam pohon jati dan menyebabkan pohon itu mati?” tanyanya.
“Karena aku ingin mencari ilmu yang sejati.”
“Ilmu yang telah kamu kuasai banyak dan bermacam-macam, kenapa masih kurang juga.”
“Iya, karena puncak dari semua ilmu itu adalah ilmu sejati, yang disebut jimat Kalimasada. Kalau sudah punya ilmu itu, barulah aku mau tutup usia dengan tenang. Rasanya hati ini plong, dan rela meninggalkan dunia ini, kalau sudah menguasai ilmu itu,” tutur Sang Prabu Yudistira panjang lebar.
“Aku bisa memberikan ilmu itu, bersiap-siaplah untuk menerimanya,” kata Sang Sunan.
Pendek kata, yang dimaksudkan sebagai ilmu sejati, puncak dari segala ilmu yaitu Jimat Kalimasada, menurut Sunan Kalijaga adalah dua Kalimat Syahadat yaitu: Asyhaduallah illah haillallah, Asyhaduannah Muhammaddarrosullulah.
Setelah diberikan bacaan seperti itu, lalu ditirukan oleh Sang Prabu Yudistiro pun tutup usia dengan tenang. Jenasahnya dimakamkan di salah satu halaman Masjid Demak dan petilasannya ada sampai sekarang. Kisah itu mengakar kuat dalam masyarakat Jawa, sampai sekarang. Kisah wayang ini, kemudian menjadi ciri khas dakwah Sunan Kalijaga, dan menjadi trade mark dirinya. Demikian sekelumit perjalanan Raden Mas Said sampai menjadi Dai kondang, yang mungkin bisa kita teladani. Sampai jumpa di lain kisah. (Bonita D Sampurno SH/ang)
Gambar: http://www.wayangprabu.com |